Selasa, 23 Juli 2013

Story#3 :: NOSTALGIA BUKU HARIAN LAMA (Short Story)

Yang nulis Unknown di 7/23/2013 12:39:00 AM
Bismillah, happy reading ^^

Nay asal membuka buku harian lamanya begitu saja. Entah berapa halaman yang tersibak, namun di halaman yang terbuka itu ia menemukan barisan kata-kata lama.

Mimpi ini begitu lucu menurutku
Akankah sama lucunya bila nyata terjadi?

Nay mengingat persis apa maksud bait-bait itu. Sebuah mimpi yang aneh dan lucu menurutnya. Ia masih ingat ketika tiga hari tiga malam ia terus tersenyum-senyum dalam dunia dan lamunannya sendiri kala mengingatnya. Dalam sebuah taman kecil yang sepi, tiba-tiba sesosok yang ia kagumi bertahun-tahun kala itu datang dan berkata, “Nay, kamu dengar orang-orang membicarakan tentang kita?” Memang benar Nay tahu gosip-gosip burung yang terbang sembarangan di kampus. Apa maksud ia datang dan tiba-tiba menanyakan hal ini? Nay siap-siap menata hati kalau-kalau.... “Tapi, Nay,” lanjutnya, “Aku sebenarnya tidak ada perasaan apapun padamu. Memang kita dekat, tapi aku hanya menganggapmu teman.”

Kecewa? Tidak menurutnya. Walaupun sudah ada harap. Pengakuannya begitu lucu menurut Nay. Ia ingat betul dalam mimpipun ia tertawa terpingkal-pingkal dan sempat menjawab, “Hey! Kenapa kamu begitu serius menanggapi hal bodoh ini. Memang kamu pikir aku suka kamu begitu?” Walaupun pada nyatanya Nay memang menaruh hati padanya, tapi tak sekalipun ia menunjukkan ketertarikannya. Bagaimana mungkin kejadian konyol ini terjadi. Tapi itu hanyalah sebuah mimpi, pikirnya.

Berbicara sifat, Nay seolah diingatkan pada sesuatu. Dia menyibak-nyibak kembali buku hariannya, mencari-cari entah apa. Dalam satu halaman yang banyak tempat kosong, ia temu,

Kata orang kamu pendiam, menurutku kamu itu rewel
Kata orang kamu cuek, menurutku kamu itu asyik
Kata orang kamu alergi cewek, menurutku kamu srobot aja
Kukira kamu itu narsis, ternyata enggak juga
Kukira kamu itu fanatik, ternyata slow saja
Kata orang lagi, kamu itu orangnya pintar, wibawa, santun,
Membuatku semakin kagum.

Hari itu ketika ia duduk bersebelahan dengan Lucy, teman sekelas si dia, tiba-tiba Lucy membicarakannya.
“Dia itu kalau di kelas enggak mau bicara sama orang yang jauh dari tempat duduknya, maunya cuma sama teman sebelahnya. Teriak-teriak juga enggak pernah. Anak-anak pada sungkan gitu sama dia. Soalnya selain pinter, dia juga wibawa dan santun banget. Tapi dia sebenarnya gampang akrab sama anak-anak. Aku saja tadi duduk di sebelahnya juga bisa ngobrol banyak sama dia.”

Nay tertegun kala itu. Dia yang dikenal Nay bawel ternyata sifatnya luhur juga. Maklum kala itu Nay baru mengenalnya lewat pesan-pesan singkat alias sms. Nay begitu saja percaya pada Lucy. Ia tahu bahwa Lucy sangat memahami sosoknya luar dan dalam karena Lucy menaruh hati padanya juga. Oleh sebab inilah, Nay tetap pada sikap diamnya. Bagaimanapun gosip yang beredar, bagaimanapun Lucy menanyakan perihal gosip-gosip itu, Nay tetap menjawab, “Bahkan aku tidak kenal dia, Lucy. Bagaimana aku bisa tahu tentang gosip itu”.

Lucy. Sahabat semenjak ia SD. Mengingatnya mengingatkan Nay pada goresan pahit. Bersamaan dengan kilat biru rintik air dari langit kala itu, Lucy datang kepada Nay dengan air mata yang tak kalah derasnya. “Nay, aku sakit....” Nay menduga pasti ini ada kaitannya dengan si dia.

“Aku sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku,” benar dugaan Nay. “Tapi dia bilang, dia sudah suka seseorang.”

“Oh, siapa?” batin Nay. Rasa sakit Lucy bagaikan virus yang langsung menginfeksi hati Nay ketika dia berkata, “Dia sudah suka seseorang”.

“Aku pikir dia punya perasaan yang sama denganku. Dia begitu akrab padaku akhir-akhir ini.” Dia mengusap urai deras linangan air matanya. “Dia membuatku banyak berharap.”

Nay terus diam sesekali menarik napas untuk melegakan gejolak di dadanya dan menahan agar air tak menggenangi matanya.

“Aku minta satu hal padamu, Nay. Bagaimanapun yang terjadi kamu tidak boleh suka padanya. Rasa sakitnya begitu menyayat.” Nay sebenarnya bingung mengapa Lucy bicara begitu. Apa Lucy tahu bahwa ia juga menyukainya atau bagaimana? Tapi kata yang mampu keluar hanya, “Tentu.” Ia takut air matanya akan meleleh ketika ia banyak berucap. Namun sedetik kemudian satu kata itu begitu ia sesali. Kini ia telah terikat janji suci dengan sahabatnya yang menjadikannya tak mampu menyentuh si dia. Sesal, sakit, benci berkecamuk tak karuan mengiringi linangan biru di pipinya di malam setelah kejadian itu.

Empat tahun kau menyusun bata-bata membangun harap
Kukira itu sangat kokoh hingga tak mungkin runtuh
Nyatanya sekarang semua rata dengan tanah
Ketika kau ambil penyangganya

Goresan terakhir buku hariannya beriring urai air mata saat itu dan kini. Rasa sakitnya ternyata masih sama seperti dulu, bahkan kini berbumbu rindu. Sekarang di mana dia? Entah.


Flash fiction, lagi. :D Cerita ini awalnya kubuat untuk diikutsertakan dalam even dengan tema "Secret Admirer" yang diselenggarakan oleh Penerbit Harfeey, salah satu penerbitan indie yang namanya sudah lumayan beken [lumayan? Beken banget kali ya. Hehehe :P]. Tapi, dasar aku sukanya yang mepet-mepet, maka aku nggak sempet ngirim ke email-nya. Karena, memang dulu belum ada akses internet di rumahku [emang sekarang ada? Modem aja nebeng kali*ups*plak :3]. Padahal, di kemudian hari ternyata kutahu bahwa semua naskah yang masuk dibukukan semua lho*wew. Banyak juga ding yang ikutan, sampai ratusan pokoknya. >.<

Nah, inspirasi dari kisah ini adalah ... mmm, kurang tahu juga sih. *heh?* Yah, waktu itu aku memang lagi genjot-genjotnya kagum sama seseorang. Tapi, dasar akunya kayak gini sifatnya, sekarang udah ilang kagumnya. Hehehe ^^v. Sebagian kisah, sifat, dan karakter aku ambil dari kisahku sendiri, namun tetap penuh dengan manipulasi sehingga hampir tidak bisa dikatakan bahwa cerita ini terinspirasi dari kisahku. *oh oh oh*

Ya, karena kelamaan nimbun di file, mending aku post aja di sini. Siapa tahu ada yang baca dan ada yang suka. :) *ngarep*

0 komentar :

Posting Komentar

 

Griyo Ma Ziyya Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea