Bismillah, happy reading ^^
Nay asal membuka buku harian lamanya begitu
saja. Entah berapa halaman yang tersibak, namun di halaman yang terbuka itu ia
menemukan barisan kata-kata lama.
Mimpi ini begitu lucu menurutku
Akankah sama lucunya bila nyata terjadi?
Nay mengingat persis apa maksud bait-bait
itu. Sebuah mimpi yang aneh dan lucu menurutnya. Ia masih ingat ketika tiga
hari tiga malam ia terus tersenyum-senyum dalam dunia dan lamunannya sendiri
kala mengingatnya. Dalam sebuah taman kecil yang sepi, tiba-tiba sesosok yang
ia kagumi bertahun-tahun kala itu datang dan berkata, “Nay, kamu dengar
orang-orang membicarakan tentang kita?” Memang benar Nay tahu gosip-gosip burung
yang terbang sembarangan di kampus. Apa maksud ia datang dan tiba-tiba
menanyakan hal ini? Nay siap-siap menata hati kalau-kalau.... “Tapi, Nay,”
lanjutnya, “Aku sebenarnya tidak ada perasaan apapun padamu. Memang kita dekat,
tapi aku hanya menganggapmu teman.”
Kecewa? Tidak menurutnya. Walaupun sudah
ada harap. Pengakuannya begitu lucu menurut Nay. Ia ingat betul dalam mimpipun
ia tertawa terpingkal-pingkal dan sempat menjawab, “Hey! Kenapa kamu begitu
serius menanggapi hal bodoh ini. Memang kamu pikir aku suka kamu begitu?”
Walaupun pada nyatanya Nay memang menaruh hati padanya, tapi tak sekalipun ia
menunjukkan ketertarikannya. Bagaimana mungkin kejadian konyol ini terjadi. Tapi
itu hanyalah sebuah mimpi, pikirnya.
Berbicara sifat, Nay seolah diingatkan pada
sesuatu. Dia menyibak-nyibak kembali buku hariannya, mencari-cari entah apa.
Dalam satu halaman yang banyak tempat kosong, ia temu,
Kata orang kamu pendiam, menurutku kamu
itu rewel
Kata orang kamu cuek, menurutku kamu itu
asyik
Kata orang kamu alergi cewek, menurutku
kamu srobot aja
Kukira kamu itu narsis, ternyata enggak
juga
Kukira kamu itu fanatik, ternyata slow
saja
Kata orang lagi, kamu itu orangnya
pintar, wibawa, santun,
Membuatku semakin kagum.
Hari itu ketika ia duduk bersebelahan
dengan Lucy, teman sekelas si dia, tiba-tiba Lucy membicarakannya.
“Dia itu kalau di kelas enggak mau bicara
sama orang yang jauh dari tempat duduknya, maunya cuma sama teman sebelahnya.
Teriak-teriak juga enggak pernah. Anak-anak pada sungkan gitu sama dia. Soalnya
selain pinter, dia juga wibawa dan santun banget. Tapi dia sebenarnya gampang
akrab sama anak-anak. Aku saja tadi duduk di sebelahnya juga bisa ngobrol
banyak sama dia.”
Nay tertegun kala itu. Dia yang dikenal Nay
bawel ternyata sifatnya luhur juga. Maklum kala itu Nay baru mengenalnya lewat
pesan-pesan singkat alias sms. Nay begitu saja percaya pada Lucy. Ia tahu bahwa
Lucy sangat memahami sosoknya luar dan dalam karena Lucy menaruh hati padanya
juga. Oleh sebab inilah, Nay tetap pada sikap diamnya. Bagaimanapun gosip yang
beredar, bagaimanapun Lucy menanyakan perihal gosip-gosip itu, Nay tetap
menjawab, “Bahkan aku tidak kenal dia, Lucy. Bagaimana aku bisa tahu tentang gosip
itu”.
Lucy. Sahabat semenjak ia SD. Mengingatnya
mengingatkan Nay pada goresan pahit. Bersamaan dengan kilat biru rintik air
dari langit kala itu, Lucy datang kepada Nay dengan air mata yang tak kalah
derasnya. “Nay, aku sakit....” Nay menduga pasti ini ada kaitannya dengan si
dia.
“Aku sudah memberanikan diri untuk
menyatakan perasaanku,” benar dugaan Nay. “Tapi dia bilang, dia sudah suka
seseorang.”
“Oh, siapa?” batin Nay. Rasa sakit Lucy
bagaikan virus yang langsung menginfeksi hati Nay ketika dia berkata, “Dia
sudah suka seseorang”.
“Aku pikir dia punya perasaan yang sama
denganku. Dia begitu akrab padaku akhir-akhir ini.” Dia mengusap urai deras
linangan air matanya. “Dia membuatku banyak berharap.”
Nay terus diam sesekali menarik napas untuk
melegakan gejolak di dadanya dan menahan agar air tak menggenangi matanya.
“Aku minta satu hal padamu, Nay.
Bagaimanapun yang terjadi kamu tidak boleh suka padanya. Rasa sakitnya begitu
menyayat.” Nay sebenarnya bingung mengapa Lucy bicara begitu. Apa Lucy tahu bahwa
ia juga menyukainya atau bagaimana? Tapi kata yang mampu keluar hanya, “Tentu.”
Ia takut air matanya akan meleleh ketika ia banyak berucap. Namun sedetik
kemudian satu kata itu begitu ia sesali. Kini ia telah terikat janji suci
dengan sahabatnya yang menjadikannya tak mampu menyentuh si dia. Sesal, sakit,
benci berkecamuk tak karuan mengiringi linangan biru di pipinya di malam setelah
kejadian itu.
Empat tahun kau menyusun bata-bata
membangun harap
Kukira itu sangat kokoh hingga tak mungkin
runtuh
Nyatanya sekarang semua rata dengan
tanah
Ketika kau ambil penyangganya
Goresan terakhir buku hariannya beriring urai air mata saat itu dan kini. Rasa sakitnya ternyata masih sama seperti dulu, bahkan kini berbumbu rindu. Sekarang di mana dia? Entah.
Flash fiction, lagi. :D Cerita ini awalnya kubuat untuk diikutsertakan dalam even dengan tema "Secret Admirer" yang diselenggarakan oleh Penerbit Harfeey, salah satu penerbitan indie yang namanya sudah lumayan beken [lumayan? Beken banget kali ya. Hehehe :P]. Tapi, dasar aku sukanya yang mepet-mepet, maka aku nggak sempet ngirim ke email-nya. Karena, memang dulu belum ada akses internet di rumahku [emang sekarang ada? Modem aja nebeng kali*ups*plak :3]. Padahal, di kemudian hari ternyata kutahu bahwa semua naskah yang masuk dibukukan semua lho*wew. Banyak juga ding yang ikutan, sampai ratusan pokoknya. >.<
Nah, inspirasi dari kisah ini adalah ... mmm, kurang tahu juga sih. *heh?* Yah, waktu itu aku memang lagi genjot-genjotnya kagum sama seseorang. Tapi, dasar akunya kayak gini sifatnya, sekarang udah ilang kagumnya. Hehehe ^^v. Sebagian kisah, sifat, dan karakter aku ambil dari kisahku sendiri, namun tetap penuh dengan manipulasi sehingga hampir tidak bisa dikatakan bahwa cerita ini terinspirasi dari kisahku. *oh oh oh*
Ya, karena kelamaan nimbun di file, mending aku post aja di sini. Siapa tahu ada yang baca dan ada yang suka. :) *ngarep*
0 komentar :
Posting Komentar