Senin, 22 Juli 2013

Story#1 :: “NANTI” DI TAPAL BATAS (Short Story)

Yang nulis Unknown di 7/22/2013 12:24:00 PM
Bismillah.... Happy reading ^^

Seperti biasa, malam selalu melantunkan irama sunyinya. Suara jangkrik, kodok, burung hantu, semilir angin, bahkan dengkuran para pria bertubuh besar dengan baju lorengnya. Aku telah terbiasa mendengarnya di sini. Mereka adalah teman-teman malamku ketika aku menghabiskan kegelapan dengan duduk di tepian tapal batas Atambua dan Timor Leste, setiap hari. Sekedar memandang jauh pada kaki langit Timor Leste, aku menunggu.

Seorang pria besar berbaju loreng yang semenjak tadi berjaga pada gilirannya, mendatangiku dan menyodorkan sehelai selimut bercorak garis-garis. Mungkin ia iba melihat anak sepuluh tahun sepertiku menggigil kedinginan. Ia tidak tahu saja bahwa dingin telah menjadi selimut kesayanganku.

“Kau tidak lelah menunggu, Nak?” tanyanya sembari duduk di sampingku. Semua orang di sini sudah tahu dan terbiasa akan rutinitas malamku yang selalu duduk di tepian tapal batas ini. Bukan sekedar duduk, tapi aku sedang menunggu.

Aku hanya menggelengkan kepala. Tak tahu apa yang bisa kukatakan untuk menjawab pertanyaan itu. Sejenak, angin mengajak kami berdua dalam kesunyian tanpa suara. Sedang anganku pun melayang pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Entah dua tahun, tiga tahun, atau mungkin lima tahun. Ah, aku sudah lupa umur berapa aku saat itu. Saat Ibu pergi.

Yang kuingat hanyalah suara ayam berkokok disambut gema adzan yang berkumandang di pagi buta. Tak seperti hari biasa, hari itu entah mengapa aku bisa bangun sepagi itu. Dalam pandangan pertama saat mataku terbuka, yang kulihat adalah Ibu yang sibuk mondar-mandir dengan seabrek baju-bajunya.

“Ibu, kenapa menata baju?” tanyaku polos.

“Ibu mau mengunjungi kakekmu,” jawabnya dengan seutas sungging yang menawan. Aku sangat suka senyuman itu, ditambah ada hias lesung di pipinya.

“Aku ikut kan, Bu?” tanyaku memastikan. Tak tahu mengapa, ada rasa takut kalau-kalau Ibu meninggalkanku.

“Nanti kan kamu sekolah. Jadi, tidak bisa ikut Ibu. Nanti malam Ibu juga sudah pulang kok.”

“Kan sekolahnya bisa ijin, Bu.”

“Tidak boleh. Lagian kamu juga belum mempersiapkan baju dan bekal. Kalau seandainya kamu bangun lebih awal, Ibu pasti mengajakmu. Besok saja bangun yang pagi, ya?”

Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku terus merengek dan Ibu hanya diam. Sesekali kudapati ia mengelap tepi matanya. Apakah menangis? Tapi tak ada yang meleleh di pipinya.

“Aku antar Ibu, ya?” tanyaku. Entah, rasanya berat melepas Ibu walau hanya sampai nanti malam. Padahal sudah biasa Ibu meninggalkanku bersama bibiku untuk berburuh beberapa hari.

Ibu mengangguk. Aku pun dituntunnya menapaki jalanan sempit penuh bebatuan. Ibu berjalan terburu-buru sekali hingga kaki kecilku sering tersandung. Sampailah kami pada tapal batas Atambua-Timor Leste.

“Nak, Ibu pesan, ya. Jangan kamu lewati tapal batas ini! Anak kecil tidak boleh lewat. Nanti bisa ditangkap sama bapak-bapak itu,” perintah Ibu sambil menunjuk para pria kekar berbaju loreng yang pada petang itu semua masih dalam lelapnya. Aku hanya bisa mengangguk.

“Nak, mau kopi?” Oh, aku melamun lagi. Suara besar si pria kekar yang sedari tadi di sampingku menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa kata “nanti” bukanlah waktu yang sebentar. Mungkin Ibu memang benar-benar meninggalkanku, pikirku terkadang. Tapi aku terus menunggu di tapal batas ini kalau-kalau malam ini Ibu pulang. Sebentar kudengar kokok ayam dan aku pun pergi meninggalkan pria itu sendiri bersama selimutnya yang tergelepak dan secangkir kopi yang mungkin kini telah dingin.

Malam ini aku bersikukuh untuk menerjang tapal batas itu. Pengalamanku berhuni di tepian tapal batas membuatku tahu kapan waktu yang tepat agar para pria kekar berbaju loreng itu tidak menangkapku. Benar saja, di tengah malam semua pria yang biasa berjaga tertidur. Aku pun langsung melompat dan berlari pada semak-semak. Kini aku tidak lagi di Atambua, melainkan Timor Leste. 

Daerah ini sungguh tragis di mataku. Di sini tidak ada air, makanan, listrik, dan jalan pun masih berupa tanah tandus yang retak. Walau di desaku juga tidak jauh berbeda, setidaknya di sana kami bisa sekolah di kelas yang lumayan bagus. Di sini aku lihat orang-orang sebayaku berkumpul di sebuah gubug reyot yang terbuka. Mereka sedang sekolah, kuperhatikan. Buku-buku mereka lusuh seperti diri mereka yang kotor dan kumal. Kulihat pula anak-anak kecil, tak tahu berapa kira-kira umurnya, tertatih-tatih membawa ember penuh dengan air dari tempat yang jauh. Sejauh aku memandang, aku melihat mereka datang. Anak-anak itu bahkan lebih kurus daripada embernya dan tak lebih tinggi daripada aku. Tangannya menegang menyembulkan tulang-tulang yang menonjol ketika mereka mengangkat beban air itu. Mungkin karena begitu kurus dan beban itu terlalu berat. 

Perutku berbunyi sedari tadi, namun aku hanya bisa memeganginya. Rasanya sangat lapar dan haus. Apalagi matahari begitu teriknya berpijar. Kepalaku kian pusing saja kurasakan. Dan tiba-tiba matahari menghilang terlahap gelap. Begitu pun cahayanya. 

“Tidak salah lagi, dia cucuku. Oh Tuhan, bagaimana dia bisa sampai sini?” Aku mendengar bisik-bisik yang bagiku seperti dengungan lebah. Kusadari mataku tertutup, tapi begitu berat ketika aku berusaha membukanya. 

“Sepertinya dia sudah siuman,” kata seorang wanita yang kudengar dari sisi kanan telingaku. Aku berusaha membuka mata dan alangkah terkejutnya aku melihat banyak sekali orang berkerumun di sekitarku. Aku sudah tak lagi di jalanan tandus yang kulewati tadi. Di sini lebih sejuk dan redup, juga beratap. 

“Minum dulu, Cu!” Seorang pria tua berperawakan besar menopang tubuhku hingga aku terduduk. Aku seperti tak asing dengan wajah itu. Tapi siapa, aku juga tak tahu. Kepalaku masih terlalu pusing untuk mengingat-ingat. Seteguk air putih itu bagaikan arak segar di tenggorokanku. Air mataku pun meleleh. Badanku sakit semua, sungguh rasanya sangat berat. Pria tua itu menyeka air mataku dengan ujung lengan bajunya. 

“Tidurlah lagi, Cu. Kamu pasti sangat lelah,” katanya lagi, namun aku menggeleng. Aku hendak beranjak untuk bangkit kembali. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu sedikit saja untuk mencari Ibu. Aku takut Ibu akan pergi lagi jika aku terlambat. Aku sudah begitu ingin bertemu Ibu. Kalau aku terlambat mencari, aku takut tidak bisa bertemu Ibu seperti aku tidak bisa ikut Ibu karena aku terlambat bangun tidur. 

Belum lekas tubuh ini bangkit, seorang nenek yang sedari tadi duduk di sebelah kananku berkata, “Cu, kamu masih ingat kami? Aku nenekmu.” 

“Nenek?” batinku terkejut. Memang wajah itu seperti tak asing lagi di otakku yang telah usang. “Kalau benar dia nenekku, pria tua ini pastilah kakekku. Lalu, di mana ibuku?” Aku sibuk dalam pikiranku sendiri, sebelum kemudian aku merintih, “Di mana ibuku?” 

“Ibu?” kata Nenek kaget. Wajahnya langsung memerah dan kulihat matanya berkubang air. Hatiku berdegup kencang sekali, hampir-hampir aku tak bisa bernapas. Kenapa mereka begitu kaget, menurutku itu hal yang begitu aneh. Bukankah Ibu pergi untuk menjenguk Kakek? 

“Nanti ibumu akan datang sebentar lagi,” kata Kakek kemudian. Pandangan Kakek berkutat dengan mata Nenek, seolah mereka sedang berbicara dengan mata mereka. Tak lama kemudian, datang seorang pria yang tinggi dengan berbalut baju kotor berdehem, membuat semua menoleh kepadanya. 

“Ada apa ramai-ramai di sini?” Pertanyaan yang sangat wajar ditanyakannya yang pasti heran melihat banyak sekali orang di rumah ini. Pria itu kemudian memandangku dan raut herannya semakin tergambar pada tatapannya yang terlihat pilu. 

“Anakmu,” kata Kakek singkat. Aku tidak yakin apa maksudnya. Aku anak pria inikah? Sejak lahir aku memang tidak tahu siapa ayahku. Tiba-tiba pria itu memelukku erat. Dia menangis begitu sendu di pundakku hingga membuatku merinding. Aku yang polos hanya ingin tahu di mana ibuku dan bibir kecilku berdalih, “Di mana Ibu?” 

“Ibumu….” Kata-kata pria yang mungkin ayahku itu tergantung oleh angin. 

“Ibu meninggalkah?” Tak tahu mengapa bibirku berucap seperti itu. Semua orang begitu sulit mengungkapkan di mana Ibu, membuatku berani berpikir demikian. Sontak semua menangis histeris. Hatiku berdesir kemudian berdetak begitu keras. Aku nyaris tak bisa bernapas. Ternyata kata “nanti” bukan lagi lama, tapi selamanya. 

“Ini salah Ayah. Andaikan Ayah memilih untuk tetap tinggal di Atambua, semua tidak akan seperti ini. Kita tidak akan berpisah dan ibumu akan lebih terjamin di sana.” Ayah, pengganti sosok Ibu. Aku memeluknya. Erat sekali. Ternyata Ibu pergi untuk bertemu Ayah. Bagiku tak ada yang harus disesalkan di tempat yang tercerai seperti ini. Semua kejadian adalah pahit dan aku tidak mau menambah pahit lebih terasa. Aku hanya ingin menyempilkan sedikit manis dengan sesungging senyum. 

Malam-malam masih kulalui di tepian tapal batas Atambua-Timor Leste. Aku mungkin telah mampu melepas Ibu pergi untuk pulang “nanti”. Tapi, tapal batas inilah singgahan terakhir tatapanku pada Ibu. Tapal batas telah menjadi separuh kehidupanku, tak tahu sampai kapan. Sesekali aku juga mencuri waktu untuk menerjang tapal batas ini ketika pria-pria kekar berbaju loreng itu lengah. Sekedar menjenguk famili di negeri tetangga. Mengelupaskan kerinduan pada sosok ibu baruku, Ayah.

Flash fiction ini adalah cerita yang dulunya aku ikut sertakan dalam even "Kisah dari Perbatasan" yang diselenggarakan oleh Hida Althafunnisa di facebook tertanggal 23 Januari-7 Februari 2013. Awalnya mau dibukukan semua, tetapi kata Kak Hida pesertanya terlampau sedikit dan tidak bisa dibukukan. Pun aku menempati urutan ketiga dari belasan karya yang masuk, sayangnya reward hanya diberikan pada dua pemenang terbaik. :( [manyun] Tapi, aku sudah bangga kok bisa dapat peringkat kedua. :D

Mulanya aku tak tahu menahu soal Atambua. Namun, menemukan even menulis yang menantang ini [menurutku aja sih] membuatku pengen nyoba. Aku coba cari-cari data di internet dan juga kisah-kisah tragis rakyat perbatasan. Huhuhu T_T memang yang adil itu hanya di sisi Allah saja. Pantes aja banyak kontroversi perihal aksi melepaskan diri dari wilayah batas. Mmm, aku berharap pemerintah segera membuka matanya, bahwa banyak pe-er di Indonesia, terutama perihal kesejahteraan yang diharapkan bisa merata.

May God give bright spots [bener nggak sih english-nya? haghaghag :D]

0 komentar :

Posting Komentar

 

Griyo Ma Ziyya Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea